Konservasi dan Kelangkaan Spesies
Kategori Status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang digunakan oleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies berbagai makhluk hidup yang terancam kepunahan. Dari status konservasi ini kemudian IUCN mengeluarkan IUCN Red List of Threatened Species atau disingkat IUCN Red List, yaitu daftar status kelangkaan suatu spesies. Kategori status konservasi dalam IUCN Red List pertama kali dikeluarkan pada tahun 1984.Sampai kini daftar ini merupakan panduan paling berpengaruh mengenai status konservasi keanekaragaman hayati.Elang Jawa salah satu burung endemik pulau jawa yang terancam punah |
IUCN Red List menetapkan kriteria untuk mengevaluasi status kelangkaan suatu spesies.Kriteria ini relevan untuk semua spesies di seluruh dunia.Tujuannya adalah untuk memperingatkan betapa pentingnya masalah konservasi kepada publik dan pembuat kebijakan untuk menolong komunitas internasional dalam memperbaiki status kelangkaan spesies. IUCN akan memperbaiki dan mengevaluasi status setiap spesies lima tahun sekali jika memungkinkan, atau setidaknya sepuluh tahun sekali.
Sejak pertama kali dikeluarkan status konservasi IUCN telah mengalami beberapa kali revisi, yaitu:
- Versi 1.0: Mace and Lande (1991). Dokumen pertama yang mendiskusikan aturan baru untuk klasifikasi.
- Versi 2.0: Mace et al. (1992). Revisi besar terhadap versi 1.0.
- Versi 2.1: IUCN (1993).
- Versi 2.2: Mace and Stuart (1994)
- Versi 2.3: IUCN (1994).Versi 3.0: IUCN/SSC Criteria Review Working Group (1999)
- Versi 3.1: IUCN (2001).
Penjelasan mengenai IUCN Redlist
Extinct (EX; Punah)
Status konservasi yag diberikan kepada spesies yang terbukti (tidak ada keraguan lagi) bahwa individu terakhir spesies tersebut sudah mati. Dalam IUCN Redlist tercatat 723 hewan dan 86 tumbuhan yang berstatus Punah. Contoh satwa Indonesia yang telah punah diantaranya adalah; Harimau Jawa dan Harimau Bali.
Extinct in the Wild (EW; Punah Di Alam Liar)
adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang hanya diketahui berada di tempat penangkaran atau di luar habitat alami mereka. Dalam IUCN Redlist tercatat 38 hewan dan 28 tumbuhan yang berstatus Extinct in the Wild.
Critically Endangered (CR; Kritis)
adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang menghadapi risiko kepunahan di waktu dekat.Dalam IUCN Redlist tercatat 1.742 hewan dan 1.577 tumbuhan yang berstatus Kritis. Contoh satwa Indonesia yang berstatus kritis antara lain; Harimau Sumatra, Badak Jawa, Badak Sumatera, Jalak Bali, Orangutan Sumatera, Elang Jawa, Trulek Jawa, Rusa Bawean.
Endangered (EN; Genting atau Terancam)
adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang. Dalam IUCN Redlist tercatat 2.573 hewan dan 2.316 tumbuhan yang berstatus Terancam. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Banteng, Anoa, Mentok Rimba, Maleo, Tapir, Trenggiling,Bekantan, dan Tarsius.
Vulnerable (VU; Rentan)
adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada waktu yang akan datang. Dalam IUCN Redlist tercatat 4.467 hewan dan 4.607 tumbuhan yang berstatus Rentan. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Kasuari, Merak Hijau, dan Kakak Tua Maluku.
Near Threatened (NT; Hampir Terancam)
adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang mungkin berada dalam keadaan terancam atau mendekati terancam kepunahan, meski tidak masuk ke dalam status terancam. Dalam IUCN Redlist tercatat 2.574 hewan dan 1.076 tumbuhan yang berstatus Hampir Terancam. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Alap-alap Doria, Punai Sumba,
Least Concern (LC; Berisiko Rendah)
adalah kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori manapun. Dalam IUCN Redlist tercatat 17.535 hewan dan 1.488 tumbuhan yang berstatus Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Ayam Hutan Merah, Ayam Hutan Hijau, dan Landak.
Data Deficient (DD; Informasi Kurang)
Sebuah takson dinyatakan “informasi kurang” ketika informasi yang ada kurang memadai untuk membuat perkiraan akan risiko kepunahannya berdasarkan distribusi dan status populasi. Dalam IUCN Redlist tercatat 5.813 hewan dan 735 tumbuhan yang berstatus Informasi kurang. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Punggok Papua, Todirhamphus nigrocyaneus,
Not Evaluated (NE; Belum dievaluasi)
Sebuah takson dinyatakan “belum dievaluasi” ketika tidak dievaluasi untuk kriteria-kriteria di atas. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Punggok Togian,
Kebijakan Pengelolahan Keanekaragaman Hayati di Indonesia
- UU No.5/1994: Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (KKH/United Nations Conventions on Biological Diversity)
- Keppres No. 43/1978: Ratifikasi CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar yang Terancam)
- Keppres No.48/1991: Ratifikasi Konvensi Ramsar mengenai Lahan Basah
- UU No.5/1990 tentang Pelestarian Sumber Daya Hayati & Ekosistemnya yg mengatur konservasi ekosistem & spesies terutama d kawasan lindung
- Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity;
- Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya;
- Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
- PP RI No 18 Th 1994 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam d Zona Pemanfaatan Taman Nasional,Taman hutan Nasional & Tman Wisata Alam
- Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
- Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Suaka Alam Dan Daerah Perlindungan Alam
- Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Penggunaan Jenis Kehidupan Liar Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Dalam Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia
- Keppres Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Pengelolaan keanekaragaman hayati
Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang menonjol. Dengan luas wilayah darat hanya 1 persen dari seluruh wilayah darat dunia, Indonesia memiliki sekitar 325.000 makhluk, yang merupakan lebih 16 persen makhluk di dunia (Dephut, 2000). Bersama Brazil, Zaire dan Meksiko, Indonesia tergolong negara megabiodiversity. Pulau-pulaunya yang berjumlah 17.000, membentang dari kawasan Indomalaya hingga Australasia, memiliki tujuh kawasan biogeografi yang penting dan anekaragam jenis habitat.Banyak pulau yang terpencil selama ribuan tahun, karena itu tingkat kekhasannya (endemism) sangat tinggi. Sebagian serangga di Indonesia tidak ditemui di tempat-tempat lain, dan banyak genus terdapat di puncak-puncak gunung. Tiga pusat utama kekayaan spesies negeri ini adalah Papua yang sangat kaya spesies danendemik, Kalimantan yang sangat kaya spesies dan endemik menengah, dan Sulawesi yang kaya spesies tingkat menengah dan endemik tinggi.
Habitat-habitat tanah berkisar dari hutan dataran rendah dipterocarp yang selalu hijau hingga hutan bermusim dan padang rumputsavana, hutan dataran rendah non- dipterocarp, rawa dan hutan humus, hingga daerah alpin. Hampir semua terancam bahaya; jenis-jenis habitat ini susut antara 20 hingga 70 persen (Barber, et all., 1997). Dari segi keanekaragaman hayati, penyusutan hutan dataran rendah, terutama di Kalimantan dan Sumatera, paling membawa bencana. Penyusutan hutan-hutan dataran rendah dipterocarp yang kaya spesies berlangsung terus dengan cepat.
Luas wilayah perairan Indonesia 3.650.000 km2, hampir dua kali lipat wilayah daratannya.Panjang garis pantainya lebih dari 81.000 km, atau hampir 14 persen panjang garis pantai dunia.Pantai merupakan salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi dengan tingkat endemismenya.Sekitar 25 persen dari spesies ikan dunia ada di perairan Indonesia (Barber, et all., 1997).
Indonesia juga memiliki hutan mangrove yang luas. Sebelum tahun 1970-an, diperkirakan terdapat sekitar 4,25 juta hektar hutan mangrove (Berwick, 1989 dalam Barber, et all., 1997). Namun kini luasan hutan mangrove dipastikan jauh lebih rendah dari angka di atas. Berkurannya luas hutan mangrove ini diakibatkan oleh penebangan, fragmentasi dan konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Penebangan dan penggundulan hutan mangrove ini dapat mengganggu sumberdaya alam yang lain. Jika penggundulan hutan mangrove terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam species flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan masyarakat.
Kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati dapat disebabkan oleh:
(1) Laju peningkatan populasi manusia dan konsumsi SDA yang tidak berkelanjutan;
(2) Penyempitan spektrum produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian, kehutanan dan perikanan;
(3) Sistem dan kebijaksanaan ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan pada lingkungan dan sumberdayanya;
(4) Ketidakadilan dalam kepemilikan, pengelolaan dan penyaluran keuntungan dari penggunaan dan pelestarian sumberdaya hayati;
(5) Kurangnya pengetahuan dan penerapan;
(6) Sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi.
Sejak lama, telah terjadi perusakan hutan dan perairan, sehingga terjadi kepunahan keanekaragaman hayati. Binatang dan tumbuhan telah punah atau terancam punah atau menjadi langka.Berhubung dengan itu, perlu peran serta berbagai pihak untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati tersebut. Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman diantara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk diantaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lainnya, serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya mencakup keanekaragaman spesies, antar spesies, dan ekosistem. Peran keanekaragaman hayati sangat penting untuk kelangsungan sistem jejaring kehidupan, yang menyediakan kesehatan, kemakmuran, pangan, energi dan jasa yang sangat vital, bagi kehidupan manusia. Beberapa metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang secara umum dapat dikelompokkan dalam konservasi insitu, konservasi eksitu, restorasi dan rehabilitasi, pengelolaan lansekap terpadu, serta formulasi kebijakan dan kelembagaan.
Konservasi insitu
Meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut. Dalam implementasinya, pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi perlindungan sumberdaya di luar kawasan lindung.Di bidang kehutanan dan pertanian, pendekatan insitu juga digunakan untuk melindungi keanekaragaman genetik tanaman di habitat aslinya serta penetapan spesies dilindungi tanpa menspesifikasikan habitatnya.
Konservasi Eksitu
Meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies tanaman, satwa liar dan organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum dilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1) habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan lingkungan. Dalam metode tersebut termasuk: pembangunan kebun raya, arboretum, koleksi mikologi, museum, bank biji, koleksi kultur jaringan dan kebun binatang. Mengingat bahwa organisme dikelola dalam lingkungan buatan, metode eksitu mengisolasi spesies dari proses-proses evolusi.
Restorasi dan Rehabilitasi
Meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk membangun kembali spesies, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis. Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi spesies asli, sedangkan rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS), tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan spesies asli.
Pengelolaan Lansekap Terpadu
meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur perlindungan, pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan. Mengingat bahwa tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan bentuk lansekap, baik di pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati memiliki peluang besar untuk dapat diperoleh.
Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan
meliputi metode yang membatasi penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; pengaturan kepemilikan lahan yang mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta dan masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati.