Kamis, 23 April 2015

Problem Base Learning(PBL)

Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Ada berbagai cara untuk mengaitkan konten dengan konteks, salah satunya adalah melalui pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Model ini juga dikenal dengan nama lain seperti project based teaching, experienced based education, dan anchoredinstruction (Ibrahim dan Nur, 2004). Pembelajaran ini membantu pebelajar belajar isi akademik dan keterampilan memecahkan masalah dengan melibatkan mereka pada sistuasi masalah kehidupan nyata.
Problem Base Learning

Pembelajara berbasis masalah diturunkan dari teori bahwa belajar adalah proses dimana pembelajar secara aktif mengkontruksi pengetahuan (Gijselaers, 1996). Psikologi kognitif modern menyatakan bahwa belajar terjadi dari aksi pembelajar, dan pengajaran hanya berperan dalam memfasilitasi terjadinya aktivitas kontruksi pengetahuan oleh pembelajar.Pembelajar harus memusatkan perhatiannya untuk membantu pembelajar mencapai keterampilan self directed learning.
Problem based learning sebagai suatu pendekatan yang dipandang dapat memenuhi keperluan ini (Schmidt, dalam Gijselaers, 1996). Masalah-masalah disiapkan sebagai stimulus pembelajaran.

Pembelajar dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, dan pembelajar hanya berperan memfasilitasi terjadinya proses belajar dan memonitor proses pemecahan masalah.
Dalam masyarakat pendidikan sains tampaknya ada semacam kesepakatan bahwa peman sains perlu ditingkatkan pada fungsi efektifnya dalam masyarakat demokratis untuk memecahkan masalah-masalah seperti, keseimbangan industri dan lingkungan, penggunaan energi nuklir, kesehatan dan lain-lain (Gallaher, et al, 1995). Oleh karena itu pendidikan sains tidak hanya ditujukan untuk peman konten dan proses sains, tetapi juga memi dampak sains pada masyarakat. Menghadapkan pembelajar pada masalah-masalah nyata sehari-hari merupakan salah satu cara mencapai tujuan ini. Allen, Duch, dan Groh (1996) mengemukakan pertimbangan penerapan PBL dalam pendidikan sain seperti berikut :
Kontekstual. Dalam pembelajaran berbasis masalah pebelajar memperoleh pengetahuan ilmiah dalam konteks dimana pengetahuan itu digunakan. Pebelajar akan
mempertahankan pengetahuannya dan menerapknanya dengan tepat bila konsep-konsep yang mereka pelajari berkaitan dengan penerapannya. Dengan demikian pembelajar akan menyadari makna dari pengetahuan yang mereka pelajari.

Belajar untuk belajar (learningf to learn). Pengetahuan ilmiah, berkembang secara eksponential, dan pebelajar perlu belajar bagaimana belajar dan dalam waktu yang sama mempraktekkan kerja ilmiah melalui karier mereka. Pembelajaran berbasis masalah membantu pembelajar mengidentifikasi informasi apa yang diperlukan, bagaimana menata informasi itu kedalam kerangka konseptual yang bermakna, dan bagaimana mengkomunikasikan informasi yang sudah tertata itu kepada orang lain.

Doing Science. Pembelajaran berbasis masalah menyediakan cara yang efektif untuk mengubah pembelajaran sains abstrak ke konkrit.Dengan memperkenalkan masalahmasalah yang relevan pada awal pembelajaran, pembelajar dapat menarik perhatian dan minat pembelajar dan memberikan kesempatan pada mereka untuk belajar melalui pengalaman.

Bersifat interdisiplin. Penggunaan masalah untuk memperkenalkan konsep juga menyediakan mekanisme alamiah untuk menunjukkan hubungan timbal balik antar mata pelajaran. Pendekatan ini menekankan integrasi prinsip-prinsip ilmiah.


Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Para pengembang pembelajaran berbasis masalah (Ibrahim dan Nur,2004) telah mendeskripsikan karaketeristik model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.

Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan pengajuan pertanyaan atau masalah, bukannya mengorganisasikan disekitar prinsip-prinsip atau keterampilan-keterampilan tertentu. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan atau masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi pebelajar. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik untuk menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk sitausi itu.

Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu. Masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, pebelajar meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.

Penyelidikan autentik. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki pebelajar untuk melakukan pennyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalsis dan mendefinisikan masalah mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalsis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan

Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. PBL menuntut pebelajar untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.

Kerjasama. Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh pebelajar yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.

Prinsip-Prinsip dalam Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah secara khusus melibatkan pebelajar bekerja pada masalah dalam kelompok kecil yang terdiri dari lima orang dengan bantuan asisten sebagai tutor. Masalah disiapkan sebagai konteks pembelajaran baru. Analisis dan penyelesaian terhadap masalah itu menghasilkan perolehan pengetahuan dan keterampilan pemecahan masalah. Permasalahan dihadapkan sebelum semua pengetahuan relevan diperoleh dan tidak hanya setelah membaca teks atau mendengar ceramah tentang materi subjek yang melatarbelakangi masalah tersebut. Hal inilah yang membedakan antara PBL dan metode yang berorientasi masalah lainnya.

Tutor berfungsi sebagai pelatih kelompok yang menyediakan bantuan agar interaksi pebelajar menjadi produktif dan membantu pebelajar mengidentifikasi pengetahuan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Hasil dari proses pemecahan masalah itu adalah, pebelajar membangun pertanyaan-pertanyaan (isu pembelajaran) tentang jenis pengatahuan apa yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah? Setelah itu, pebelajar melakukan penelitian pada isu-isu pembelajaran yang telah diidentifikasi dengan menggunakan berbagai sumber. Untuk ini pebelajar disediakan waktu yang cukup untuk belajar mandiri. Proses PBL akan menjadi lengkap bila pebelajar melaporkan hasil penelitiannnya (apa yang dipelajari) pada pertemuan berikutnya. Tujuan pertama dari paparan ini adalah untuk menunjukkan hubungan antara pengetahuan baru yang diperoleh dengan masalah yang ada ditangan pebelajar. Fokus yang kedua adalah untuk bergerak pada level pemahaman yang lebih umum, membuat kemungkinan transfers pengetahuan baru. Setelah melengkapi siklus pemecahan masalah ini, pebelajar akan memulai menganalisis masalah baru, kemudian diikuti lagi oleh prosedur: analisis- penelitian- laporan.

Tujuan dan Hasil Belajar Model Pembelajaran Berbasis Masalah

1) Keterampilan Berpikir dan Keterampilan Memecahkan Masalah
Pembelajaran berbasis masalah ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak sama dengan keterampilan yang berhubungan dengan pola-pola tingkah laku rutin. Larson (1990)dan Lauren Resnick (Ibrahim dan Nur, 2004) menguraikan ciri-ciri berpikir tingkat tinggi seperti berikut :
  • tidak bersifat algoritmik (noalgoritmic), yakni alur tindakan tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya,
  • cenderung kompleks, keseluruihan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang,
  • seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian, dari pada yang tunggal,
  • melibatkan pertimbangan dan interpretasi,
  • melibatkan banyak kriteria, yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain,
  • seringkali melibatkan ketidakpastian. Tidak selalu segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas diketahui,
  • melibatkan pengaturan diri (self regulated) tentang proses berpikir,
  • melibatkan pencarian makna menemukan struktur pada keadaan yang tampaknya tidak teratur,
  • berpikir tingkat tinggi adalah kerja keras. Ada pengerahan kerja mental besar, besaran saat melakukan elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan.
Keterampilan-keterampilan berpikir tingkat tinggi ini dapat diajarkan (Costa, 1985). Kebanyakan program dan kurikulum dikembangkan untuk tujuan ini amat mendasarkan pada pendekatan yang serupa dengan pembelajaran berbasis masalah ( Ibrahim dan Nur, 2004).

2) Pemodelan Peranan Orang Dewasa
Resnick (Ibrahim dan Nur, 2004) mengemukakan bahwa bentuk pembelajaran berbasis masalah penting menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah. Aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan adalah :
  • PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas.
  • PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga pebelajar secara bertahap dapat memi peran yang diamati tersebut.
  • PBL melibatkan pebelajar dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun femannya tentang fenomena itu.
3) Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning)
Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada pebelajar. Pebelajar harus dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, dibawah bimbingan pembelajar (Barrows, 1996). Dengan bimbingan pembelajar yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, pebelajar belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam kehidupan kelak (Ibrahim dan Nur, 2004).

E. Landasan Teoretik Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Temuan-temuan dari psikologi kognitif menyediakan landasan teoretis untuk meningkatkan pengajaran secara umum dan khsususnyaproblem based learning (PBL). Premis dasar dalam psikology kognitif adalah belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan baru yang berdasarkan pada pengetahuan terkini. Mengikuti Glaser (1991) secara umum diasumsikan bahwa belajar adalah proses yang konstruktif dan bukan penerimaan. Prosesproses kognitif yang disebut metakognisi mempengaruhi penggunaan pengetahuan, dan faktor-faktor sosial dan kontektual mempengaruhi pembelajaran. Berdasar pada pandangan psikologi kognitif terdapat tiga prinsip pembelajaran yang berkaitan dengan PBL.

Prinsip 1. Belajar adalah proses konstruktif dan bukan penerimaan. Pembelajaran tradisional didominasi oleh pandangan bahwa belajar adalah penuangan pengetahuan kekepala pebelajar. Kepala pebelajar dipandang sebagai kotak kosong yang siap diisi melalui repetisi dan penerimaan. Pengajaran lebih diarahkan untuk penyimpanan informasi oleh pebelajar pada memorinya seperti menyimpan buku-buku di perpustakaan. Pemanggilan kembali informasi bergantung pada kualitas nomer panggil(call number) yang digunakan dalam mengklasifikasikan informasi. Namun, psikologi kognitif modern menyatakan bahwa memori merupakan struktur asosiatif. Pengetahuan disusun dalam jaringan antar konsep, mengacu pada jalinan semantik. Ketika belajar terjadi informasi baru digandengkan pada jaringan informasi yang telah ada. Jalinan semantik tidak hanya menyangkut bagaimana menyimpan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu diinterpretasikan dan dipanggil.

Prinip 2. Knowing About Knowing (metakognisi) Mempengaruhi Pembelajaran. Prinsip kedua yang sangat penting adalah belajar adalah proses cepat, bila pebelajar mengajukan keterampilan-keterampilan self monitoring, secara umum mengacu pada metakognisi (Bruer, 1993 dalam Gijselaers, 1996).Metakognisi dipandang sebagai elemen esensial keterampilan belajar seperti setting tujuan (what am I going to do), strategi seleksi (how am I doing it?), dan evaluasi tujuan (did it work?). Keberhasilan pemecahan masalah tidak hanya bergantung pada pemilikan pengetahuan konten (body of knowledge), tetapi juga penggunaan metode pemecahan masalah untuk mencapai tujuan. Secara khusus keterampilan metokognitif meliputi kemampuan memonitor prilaku belajar diri sendiri, yakni menyadari bagaimana suatu masalah dianalisis dan apakah hasil pemecahan masalah masuk akal?

Prinsip 3. Faktor-faktor Kontekstual dan Sosial Mempengaruhi Pembelajaran. Prinsip ketiga ini adalah tentang penggunaan pengetahuan. Mengarahkan pebelajar untuk memi pengetahuan dan untuk mampu menerapkan proses pemecahan masalah merupakan tujuan yang sangat ambisius. Pembelajaran biasanya dimulai dengan penyampaian pengetahuan oleh pembelajar kepada pebelajar, kemudian disertai dengan pemberian tugas tugas berupa masalah untuk meningkatkan penggunaan pengetahuan. Namun studi-studi menunjukkan bahwa pebelajar mengalami kesulitan serius dalam menggunakan pengetahuan ilmiah (Bruning et al, 1995). Studi juga menunjukkan bahwa pendidikan tradisional tidak memfasilitasi peningkatan peman masalah-maslah fisika walaupun secara formal diajarkan teori fisika ( misalnya, Clement, 1990).

Jika tujuan pembelajaran adalah mengajarkan pebelajar untuk menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah dunia nyata, bagaimana seharusnya pembelajaran itu dilakukan? Mandl, Gruber, dan Renkl (1993) menyarankan empat cara yaitu: pengajaran harus diletakkan dalam konteks situasi pemecahan masalah kompleks danbermakna; pengajaran harus dipusatkan pada pengajaran keterampilan metakognitif dan bilamana mengunakannya; pengetahuan dan keterampilan-keterampilan harus diajarkan dari perspektif yang berbeda dan diterapkan pada setiap situasi yang berbeda; belajar harus berlangsung dalam situasi kerjasama untuk mengkonfrotasikan keyakinan yang dipegang oleh masing-masing individu. Strategi ini dilandasi oleh dua model yang saling melengkapi cognitive apprenticeship dan anchored instruction. Kedua model ini menekankan bahwa pengajaran harus terjadi dalam kontek masalah dunia nyata atau parktek-praktek professional.

Faktor sosial juga mempengaruhi belajar individu. Glaser (1991) beralasan bahwa dalam kerja kelompok kecil pembelajar mengekspose pandangan alternatif adalah tantangan nyata untuk mengawali pemahaman. Dalam kelompok kecil pembelajar akanmembangkitkan metode pemecahan masalah dan pengetahuan konseptual mereka. Mereka menyatakan ide-ide dan membagi tanggung jawab dalam memanage situasi masalah. Bruning, Schraw, dan Ronning (1995) menyatakan bahwa pengajaran sains sangat efektif bila hakikat sosial pembelajaran diterima dan digunakan untuk membantu pebelajar memperoleh peman ilmiah secara akurat.

Bertolak dari prisnip-prinsip pembelajaran di atas, pembelajaran berbasis masalah dapat ditelusuri melalui tiga aliran pemikiran pendidikan yaitu: Dewey dan Kelas Demokratis: Konstruktivisme Viaget dan Vygotsky, Belajar Penemuan Bruner(Ibrahim dan Nur, 2004).

Dewey dan Pembelajaran Demokratis

Pembelajaran berbasis masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim & Nur, 2004).Dalam demokrasi dan pendidikan Dewey menyampaikan pandangan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Ilmu mendidik Dewey menganjurkan pembelajar untuk mendorong pebelajar terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalahmasalah intelektual dan sosial. Dewey juga menyatakan bahwa pembelajaran disekolah seharusnya lebih memiliki manfaat dari pada abstrak dan pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh pebelajar dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik dan pilihan mereka sendiri.

Konstrukivisme Piaget dan Vygotsky

Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan diatas pandangan konstruktivis kognitif (Ibrahim dan Nur, 2004).Pandangan ini banyak didasarkan teori Piaget. Piaget mengemukakan bahwa pebelajar dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Bagi Piaget pengetahuan adalah konstruksi(bentukan) dari kegiatan/tindakan seseorang (Suparno, 1997). Pengetahuan tidak bersifat statis tetapi terus berevolusi.

Seperti halnya Piaget, Vygotsky juga percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman ini(Ibrahim & Nur, 2004). Untuk memperoleh pemahaman individu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki.

Piaget memandang bahwa tahap-tahap perkembangan intelektual individu dilalui tanpa memandang latar konteks sosial dan budaya individu. Sementara itu, Vygotsky memberi tempat lebih pada aspek sosial pembelajaran. Ia percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain mendorong terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual pembelajar. Implikasi dari pandangan Vygotsky dalam pendidikan adalah bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial dengan pembelajar dan teman sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari pembelajar atau teman sejawat yang lebih mampu, pebelajar bergerak ke dalam zona perkembangan terdekat mereka dimana pembelajaran baru terjadi (Ibrahim dan Nur, 2004).

Bruner dan Belajar Penemuan

Bruner adalah adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan psikologi belajar kognitif. Ia telah mengembangkan suatu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh yang disebut dengan belajar penemuan. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk pemecahan masalah dan pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna ( Dahar, 1998).

Bruner menyarankan agar pebelajar hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperopleh pengetahuan. Perlunya pembelajar penemuan didasarkan pada keyakinan bahwa pembelajaran sebenarnya melalui penemuan pribadi.

F. Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran Berbasis Masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dari pembelajar memperkenalkan pebelajar dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja pebelajar. Secara singkat kelima tahapan pembelajaran PBL adalah seperti pada Tabel 1 berikut.

Tabel 9.1. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah

Tahap
Tingkah Laku Pembelajar
Tahap 1
Orientasi pebelajar pada
masalah
Pembelajar menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi
pebelajar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah
yang dipilihnya. Pembelajar mendiskusikan rubric
asesmen yang akan digunakan dalam menilai
kegiatan/hasil karya pebelajar
Tahap 2
Mengorganisasikan
pebelajar untuk belajar
Pembelajar membantu pebelajar mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut.
Tahap 3
Membimbing penyelidikan
individu maupun
kelompok
Pembelajar mendorong pebelajar untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap 4
Mengembangkan dan
Pembelajar membantu pebelajar dalam merencanakan
dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan,
Tahap 5
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Pembelajar membantu pebelajar untuk melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan
proses-proses yang mereka gunakan



Advertiser